Home Opini Wajib Halal 2026: Jalan Terjal Menuju Produk Halal Nasional

Wajib Halal 2026: Jalan Terjal Menuju Produk Halal Nasional

0
ILUSTRASI: Makanan halal. (Dok. Istimewa Freepik by @freepik)
ILUSTRASI: Makanan halal. (Dok. Istimewa Freepik by @freepik)

Wajib Halal 2026: Jalan Terjal Menuju Produk Halal Nasional
Oleh : Fiko Asri
Pengawas Jaminan Produk Halal (Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur)

Bayangkan Anda membeli sebotol minuman herbal di warung dekat rumah. Rasanya segar, kemasannya menarik, namun apakah sudah bersertifikat halal? Mulai Oktober 2026, pertanyaan ini bukan lagi sekadar pilihan konsumen Muslim, melainkan kewajiban hukum bagi pelaku usaha di Indonesia.

Pemerintah melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) telah menetapkan bahwa produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan barang gunaan harus bersertifikat halal secara bertahap. Namun, di balik semangat perlindungan konsumen dan penguatan industri halal, kebijakan ini menghadapi jalan terjal. Regulasi yang ambisius, kesadaran masyarakat yang belum merata, dan kesiapan industri yang timpang menjadi tantangan nyata. Apakah Indonesia siap menyambut era wajib halal 2026?

Penahapan kewajiban halal dibagi dalam empat gelombang, dengan tenggat akhir pada Oktober 2026 untuk semua produk UMKM. Tahap pertama yang mencakup seluruh produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan semula ditargetkan selesai pada 2024, namun diundur karena keterbatasan kapasitas. Menurut data BPJPH, hingga pertengahan 2025 baru sekitar 3,4 juta pelaku usaha yang memiliki sertifikat halal dari total 66 juta UMKM di Indonesia. Artinya, masih ada lebih dari 60 juta unit usaha yang belum tersertifikasi.

Baca Juga: KPK Ungkap Biaya Haji Khusus Rp 300 Juta dan Haji Furoda Rp 1 Miliar

Jika target tetap diberlakukan, BPJPH harus menerbitkan sekitar 102 ribu sertifikat halal per hari—angka yang jauh melampaui kapasitas rata-rata saat ini yang hanya sekitar 2.678 sertifikat per hari. Selain itu, harmonisasi antara regulasi nasional dan standar halal internasional masih belum optimal, menghambat ekspor produk halal Indonesia ke pasar global.

Survei LPPOM MUI menunjukkan bahwa hanya sekitar 60% konsumen Muslim yang secara aktif mencari label halal saat berbelanja. Di sisi lain, banyak pelaku usaha, terutama UMKM, belum memahami prosedur sertifikasi halal dan manfaatnya. Faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya kesadaran ini diantaranya,  minimnya edukasi publik tentang halal sebagai standar kualitas dan keamanan, persepsi bahwa sertifikasi halal hanya relevan untuk makanan dan minuman, ketidaktahuan bahwa kosmetik, obat-obatan, dan barang gunaan juga wajib halal.

Industri kosmetik dan farmasi menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Produk-produk ini sering kali menggunakan bahan kimia sintetis atau turunan hewani yang sulit diverifikasi kehalalannya. Proses audit bahan baku dan rantai pasok memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, jumlah auditor halal dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) masih terbatas. Per 2025, Indonesia memiliki sekitar 1.000 auditor halal aktif, yang belum cukup untuk menjangkau seluruh wilayah dan sektor industri.

Sebagai penulis, saya melihat kebijakan wajib halal sebagai langkah strategis yang patut didukung. Namun, implementasinya harus realistis dan inklusif. Regulasi yang baik bukan hanya soal tenggat waktu, tetapi juga soal kesiapan ekosistem. Tanpa edukasi yang masif dan dukungan konkret bagi UMKM, kebijakan ini berisiko menjadi beban administratif daripada solusi perlindungan konsumen.

Untuk mengatasi tantangan diperlukan langkah strategis seperti digitalisasi proses sertifikasi, edukasi dan pendampingan UMKM, peningkatan kapasitas auditor dan LPH, Diplomasi Halal Global. Platform seperti Sehati BPJPH perlu diperluas dan disederhanakan agar pelaku usaha dapat mengakses sertifikasi halal dengan mudah dan cepat.

Baca Juga: Mampukah Zakat Memutus Rantai Kemiskinan?

Pemerintah dan lembaga terkait harus memperluas program pendampingan halal gratis, terutama di sektor makanan, minuman, dan kosmetik. Investasi dalam pelatihan auditor halal dan pembentukan LPH di setiap provinsi sangat penting untuk mempercepat proses sertifikasi. Sertifikat halal Indonesia harus diakui secara internasional melalui kerja sama bilateral dan multilateral, agar produk Indonesia dapat bersaing di pasar global.

Wajib halal 2026 bukan sekadar kebijakan, melainkan transformasi budaya konsumsi dan produksi di Indonesia. Tantangannya nyata, tetapi peluangnya juga besar. Dengan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, Indonesia bisa menjadi pusat industri halal dunia. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Lukmanul Hakim, pakar halal nasional bahwa Halal bukan hanya soal agama, tapi soal kualitas, etika, dan daya saing. Mari kita jadikan halal sebagai standar hidup, bukan sekadar label. Karena di balik label itu, ada kepercayaan, ada nilai, dan ada masa depan.

Exit mobile version