Home Opini Dakwah yang Menyejukkan, Bukan Membakar

Dakwah yang Menyejukkan, Bukan Membakar

0
ILUSTRASI: Dakwah. (Dok. Istimewa by Freepik @jcomp)
ILUSTRASI: Dakwah. (Dok. Istimewa by Freepik @jcomp)

Dakwah yang Menyejukkan, Bukan Membakar
Oleh : Rahmad Hidayat
Penyuluh Agama Islam (Bimas Islam Kemenag Kab. Beltim)

Pernahkah kita merenung, mengapa ajaran agama yang seharusnya menebarkan kasih sayang justru kerap disalahgunakan untuk menebar kebencian? Mengapa dakwah yang seharusnya menuntun manusia pada jalan keselamatan kadang berubah menjadi api yang membakar semangat intoleransi? Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita melihat realitas bahwa radikalisme dan aliran menyimpang masih terus muncul di tengah masyarakat kita, seakan tak pernah benar-benar hilang meski berkali-kali diberantas.

Sebagai penyuluh agama Islam, kami sering menjumpai fenomena di lapangan di mana sebagian masyarakat terjebak dalam narasi sesat yang dikemas rapi dengan label agama. Mereka yang baru belajar agama, yang masih mencari pegangan hidup, kadang mudah tergoda dengan ajakan-ajakan sederhana: “bergabunglah bersama kami, tinggalkan yang lain karena mereka salah.” Narasi hitam-putih seperti ini tampak menenangkan bagi sebagian orang, namun sejatinya menutup pintu dialog dan merusak harmoni sosial.

Mengapa Aliran Menyimpang Tumbuh?

Aliran menyimpang dan radikalisme ibarat gulma di ladang subur: ia tumbuh di lahan yang kurang terawat. Di masyarakat, lahan itu bisa berupa ketidaktahuan, ketidakadilan, atau keterasingan sosial. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan, generasi muda merupakan kelompok paling rentan. Pada 2022, survei BNPT mengungkap sekitar 30 persen mahasiswa pernah terpapar paham radikal, meski tidak semua lalu menjadi ekstremis. Fakta ini seharusnya menjadi alarm bahwa kita perlu memperkuat pendidikan agama yang moderat, bukan sekadar dogmatis.

Baca Juga: Mampukah Zakat Memutus Rantai Kemiskinan?

Kasus nyata juga memperlihatkan betapa bahaya aliran menyimpang bisa merambah siapa saja. Beberapa tahun lalu, aparat membongkar sebuah kelompok di Jawa Barat yang mengajarkan pengikutnya meninggalkan ibadah wajib dengan dalih sudah menemukan “jalan pintas” menuju keselamatan. Ironisnya, sebagian besar pengikut adalah masyarakat awam yang haus akan bimbingan spiritual. Mereka terjebak karena minim literasi agama dan tidak terbiasa berdialog dengan tokoh agama yang kredibel.

Dakwah Menyejukkan vs Dakwah Membakar

Dakwah sejatinya adalah panggilan kasih, bukan seruan amarah. Rasulullah SAW diutus bukan untuk mencela manusia, melainkan menjadi rahmat bagi semesta. Namun, aliran menyimpang sering membalik nilai ini: dakwah dijadikan senjata untuk menghakimi, bukan merangkul. Inilah yang kami sebut sebagai “dakwah yang membakar”—ia menghanguskan ukhuwah, membakar persaudaraan, dan meninggalkan abu kebencian.

Analogi mudahnya, bayangkan seorang dokter yang menemui pasien sakit. Apakah ia langsung memarahi pasien karena lalai menjaga kesehatan? Tentu tidak. Dokter yang baik memberikan obat, nasihat, dan semangat agar pasien pulih. Begitu pula dakwah: seharusnya menjadi obat hati, bukan api yang menghanguskan jiwa. Dakwah yang menyejukkan ibarat air jernih yang memadamkan dahaga, menenangkan hati, dan menyuburkan iman.

Peran Negara dan Masyarakat serta belajar dari kasus yang terjadi

BNPT telah menekankan pentingnya pencegahan radikalisme melalui penguatan literasi agama, dialog lintas iman, dan pelibatan tokoh masyarakat. Program Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), misalnya, melibatkan tokoh agama, akademisi, dan komunitas lokal untuk membangun daya tangkal di akar rumput. Pendekatan ini terbukti efektif menekan ruang gerak aliran menyimpang di beberapa daerah.

Namun, peran negara saja tidak cukup. Penyuluh agama di tingkat desa, masjid, dan majelis taklim memiliki peran sentral. Kita perlu hadir dengan bahasa yang sederhana, pendekatan yang persuasif, dan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tidak cukup hanya memberi ceramah di mimbar, tetapi juga mendengar keluh kesah masyarakat, menemani mereka mencari solusi, dan memberikan teladan. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa ditinggalkan dan mencari jawaban dari kelompok-kelompok menyimpang.

Mari kita lihat kasus yang pernah terjadi di Bekasi, di mana sebuah kelompok eksklusif melakukan pengajian tertutup dan mengajarkan pengikutnya untuk memusuhi lingkungan sekitar. Berkat laporan warga yang curiga, aparat berhasil membongkar jaringan tersebut. Kasus ini menunjukkan, masyarakat yang peka dan berani melapor adalah benteng terdepan melawan aliran sesat. Sama halnya ketika ditemukan praktik pengumpulan dana ilegal oleh sebuah aliran di Sulawesi yang mengatasnamakan agama; tanpa keterlibatan tokoh masyarakat, kasus itu mungkin terus berlanjut dan merugikan banyak orang.

Baca Juga: Kemenag Targetkan Seluruh Tanah Wakaf Bersertifikat pada 2026

Radikalisme dan aliran menyimpang ibarat api kecil di sudut rumah. Jika dibiarkan, ia bisa membakar seluruh bangunan. Karena itu, pencegahan jauh lebih penting daripada penindakan. Dakwah menyejukkan adalah air yang bisa memadamkan api itu sejak dini. Pertanyaannya, apakah kita rela membiarkan saudara-saudara kita terjerumus dalam api kebencian, sementara kita memiliki air kasih sayang yang bisa memadamkannya?

Sebagai penyuluh agama, kami percaya bahwa kunci pencegahan ada pada pendekatan yang humanis dan komunikatif. Mari kita ajak umat untuk memahami agama dengan akal sehat, hati yang lapang, dan jiwa yang damai. Mari kita hadirkan masjid sebagai pusat persaudaraan, bukan ajang pemisah. Mari jadikan media sosial sebagai ruang dakwah yang menyejukkan, bukan arena caci maki.

Pada akhirnya, agama adalah cahaya yang menuntun, bukan api yang membakar. Maka, melawan aliran menyimpang bukan hanya soal menjaga ketertiban, tetapi juga menjaga kesucian ajaran agama itu sendiri. Indonesia adalah rumah besar kita bersama. Mari kita rawat rumah ini dengan dakwah yang menebarkan kesejukan, agar generasi mendatang tumbuh dalam persaudaraan, kedamaian, dan harapan.

Exit mobile version