Bukan Hanya Higienis, Dapur MBG Wajib Bersertifikasi Halal
Oleh : Bustamin
Penyuluh Agama Islam (KUA Sijuk Belitung)
MBG adalah singkatan dari Makan Bergizi Gratis, sebuah program prioritas pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Program ini bertujuan untuk menyediakan makanan bergizi secara gratis bagi anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Tujuannya holistic yaitu mengatasi masalah malnutrisi dan stunting, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mendukung pertumbuhan ekonomi dengan memberdayakan UMKM.
Dalam pelaksanaannya, standar kualitas, keamanan pangan, dan kehalalan terus menjadi sorotan publik. Sertifikasi higienitas (kebersihan) adalah syarat mutlak yang sudah seharusnya diprioritaskan. Namun, terdapat tuntutan lain yang tak kalah penting yaitu dapur MBG harus sudah lolos sertifikasi halal.
Memahami Halal dalam Konteks Jaminan Produk Halal (JPH)
Banyak pihak keliru menganggap bahwa halal hanya berkaitan dengan bahan baku utama. Misalnya, memastikan daging yang digunakan adalah sapi atau ayam, bukan babi. Padahal, dalam konteks Jaminan Produk Halal (JPH) yang diatur oleh undang-undang, kehalalan mencakup seluruh mata rantai produksi. Ini dimulai dari bahan baku, bahan penolong, peralatan yang digunakan, hingga tempat pengolahan (dapur).
Baca Juga: Mampukah Zakat Memutus Rantai Kemiskinan?
Dapur yang hanya mengantongi sertifikat higienitas (biasanya dari BPOM) memang menjamin makanan diolah secara bersih dan aman dari kontaminasi mikroba atau zat berbahaya. Namun, sertifikasi halal menjamin lebih dari itu. Pertama, Pemisahan Bahan yaitu Memastikan tidak ada bahan non-halal (misalnya, minyak babi, alkohol) yang digunakan atau tersimpan bersama bahan halal. Kedua, Peralatan Bersih dari Najis yaitu Peralatan harus dipastikan bersih dari segala jenis najis.Kontroversi mengenai food tray impor yang diduga mengandung lemak babi beberapa waktu lalu adalah contoh nyata bahwa peralatan makan pun wajib diperiksa kehalalannya.
Titik Kritis Kehalalan dan Keamanan Peralatan
Munculnya isu mengenai dugaan kehalalan peralatan makan yang diimpor, seperti yang dikaitkan dengan MBG, menjadikan statusnya meragukan (syubhat) atau bahkan berpotensi haram.
Isu yang paling disoroti adalah adanya dugaan penggunaan lemak babi (lard) dalam proses akhir produksi piring melamin atau stainless steel (sebagai bahan pelumas atau campuran tertentu). Selain aspek agama, ada juga masalah keamanan pangan.
Pertama, Risiko Kesehatan yaitu adanya laporan mengenai dugaan penggunaan bahan stainless steel tipe 201 dengan kadar mangan tinggi yang berisiko jika bersentuhan dengan makanan asam, menimbulkan keraguan besar pada faktor keamanan dan kesehatan. Kedua, Standar Mutu yaitu dugaan pemalsuan label Standar Nasional Indonesia (SNI) semakin memperkuat keraguan bahwa produk tersebut tidak diproses dengan standar mutu yang diwajibkan oleh pemerintah. Terlepas dari dimensi keagamaan, produk yang digunakan untuk program pemerintah harus memenuhi standar Food Grade dan SNI untuk menjamin kesehatan dan keselamatan konsumen.
Baca Juga: Wajib Halal 2026: Jalan Terjal Menuju Produk Halal Nasional
Sertifikasi Halal: Pencegahan Kontaminasi Silang
Jika dapur yang mengolah makanan tidak tersertifikasi halal, risiko kontaminasi silang (cross-contamination) dari peralatan yang digunakan atau bahan penolong yang tidak jelas statusnya menjadi sangat tinggi, meskipun makanan utama yang dimasak adalah halal. Dapur MBG merupakan titik kritis penentuan kualitas makanan. Jika pemerintah serius menjadikan MBG sebagai program jangka panjang yang didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat, maka kualitas harus dilihat secara holistik.
Sudah saatnya seluruh dapur yang terlibat dalam program MBG, baik skala besar maupun UMKM lokal, diwajibkan untuk segera mengantongi sertifikat halal, setara dengan kewajiban higienitas. Dengan demikian, program MBG tidak hanya menghasilkan makanan yang Bergizi dan Aman, tetapi juga Suci dan Menenteramkan.