
Panduan.co.id – Negara hukum hanya bisa bekerja dengan baik ketika batas kewenangan diatur secara jelas (expressis verbis) dan tegas, sehingga tiap lembaga tahu di mana ia berdiri dan apa yang menjadi tugasnya. Begitu batas-batas itu kabur, kekuasaan mulai tumpang-tindih dan kewenangan yang seharusnya berbeda, “dipaksa” berjalan beriringan.
Inilah yang terjadi ketika penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian selama bertahun-tahun membuka ruang bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil. Banyak masyarakat mungkin tidak terlalu memikirkan hal ini, padahal dalam tradisi negara modern yang demokratis, filosofi tentang kepolisian selalu berdiri pada fondasi bahwa polisi adalah penjaga keamanan masyarakat, bukan pengelola pemerintahan.
Di berbagai negara, dari Eropa hingga Asia Timur, mandat kepolisian dirangkum dalam tiga tugas utama, yaitu law enforcement (menegakkan hukum secara profesional); public order (menjaga ketertiban umum); dan public safety (melindungi keselamatan masyarakat).
Tidak ada satupun negara demokrasi yang menempatkan polisi aktif sebagai pejabat sipil. Karena sejak abad ke-19, para pemikir pemerintahan, seperti Max Weber hingga Woodrow Wilson, membedakan antara birokrasi sipil dan aparat keamanan.
Baca Juga: KPK Duga Lebih dari 100 Agensi Haji Terlibat di Kasus Kuota Haji
Campur-aduk kedua wilayah ini adalah hal yang justru dihindari negara modern, karena kewenangan koersif (yang dimiliki Polri) tidak boleh bercampur dengan kewenangan administratif (yang dimiliki pejabat pemerintah sipil).
Karena itu, negara hukum selalu berhati-hati agar fungsi keamanan tidak bercampur dengan fungsi pemerintahan sipil. Kewenangan koersif yang dimiliki polisi tidak boleh masuk ke jabatan administratif, karena bila keduanya menyatu, keputusan publik mudah terbawa pada logika komando dan ruang sipil kehilangan sifatnya yang terbuka.
Di sinilah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengingatkan kita bahwa sesuatu yang terbiasa, belum tentu konstitusional. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Kepolisian tidak lagi berlaku.
Baca Juga: Mampukah Zakat Memutus Rantai Kemiskinan
Dengan kata lain, polisi aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil, kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun. Sekilas tampak sederhana, tetapi sesungguhnya putusan ini membawa dampak penting bagi tata negara dan arah demokrasi kita.
Mengembalikan kepastian hukum
Hal pertama yang penting dicermati adalah alasan yang digunakan MK, yaitu kepastian hukum.
Selama bertahun-tahun, penjelasan pasal tersebut membuka celah yang memungkinkan anggota Polri aktif duduk di jabatan sipil, tanpa harus melepaskan statusnya. Padahal norma dalam batang tubuh undang-undang sudah sangat tegas bahwa siapa pun yang ingin menduduki jabatan di luar kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun.
Dalam praktik pembentukan undang-undang, penjelasan tidak boleh berdiri lebih kuat daripada pasal. Penjelasan hanya berfungsi menerangkan, bukan membentuk aturan atau norma baru. Masalah muncul ketika penjelasan justru memperluas makna pasal dan menciptakan banyak tafsir yang tidak sesuai dengan maksud pasal tersebut.
MK melihat persoalan ini dengan jernih. Kepastian hukum tidak mungkin tercapai apabila pasal dan penjelasannya berjalan ke arah yang berbeda.
Dengan dihapuskannya frasa tersebut, hukum kembali pada bentuk asalnya yang lebih jelas dan lebih tegas. Tidak ada lagi ruang abu-abu yang selama ini dipakai sebagai dasar administratif untuk menempatkan polisi aktif di jabatan sipil.
Supremasi sipil
Isu berikutnya menyentuh hal yang jauh lebih mendasar, yaitu prinsip supremasi sipil.
Sejak Reformasi 1998, Indonesia memilih untuk memisahkan dengan jelas antara ranah keamanan dan ranah pemerintahan sipil. Pilihan ini tidak lahir dari teori yang abstrak, tetapi dari pengalaman panjang bangsa ini yang ingin memastikan bahwa urusan pemerintahan dijalankan oleh pejabat sipil yang tidak terikat pada struktur komando.
Ketika polisi aktif ditempatkan dalam jabatan sipil, sebaik apa pun maksudnya, ia tetap membawa pola hubungan komando yang melekat pada pemerintahan sipil. Padahal birokrasi sipil bekerja dengan logika yang berbeda, yaitu administrasi, pelayanan, dan akuntabilitas publik. Dua sistem ini bisa berkoordinasi, tetapi tidak dirancang untuk melebur menjadi satu, karena jika dicampur justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan melemahkan supremasi sipil.
Putusan MK mengembalikan batas itu pada tempatnya. Polisi aktif tidak dapat menjalankan dua fungsi sekaligus. Dalam negara hukum modern, pemisahan fungsi bukan sekadar aturan formal, melainkan syarat penting agar kekuasaan tidak bertumpuk dan agar pemerintahan tetap berada di tangan aktor-aktor sipil, sebagaimana mandat Reformasi.
Akhiri praktik “dwifungsi”
Para pakar sudah lama memperingatkan penempatan polisi aktif di jabatan sipil adalah bentuk “dwifungsi” gaya baru. Bukan dwifungsi seperti era Orde Baru, tetapi tetap berpotensi mengaburkan batas antara fungsi keamanan dan fungsi pemerintahan. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan, terutama bagi warga sipil yang berhadapan dengan pejabat birokrasi yang juga bagian dari aparat penegak hukum.
Pemohon I dalam Putusan MK ini, yang merupakan seorang advokat menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana ketidakseimbangan itu bekerja. Ketika polisi aktif duduk sebagai pejabat sipil, advokat yang mendampingi klien sering berhadapan dengan pejabat yang memegang kewenangan administratif, sekaligus penegakan hukum. Situasi semacam ini tentu saja menciptakan ketimpangan posisi.
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengakhiri “dwifungsi” itu. Polisi boleh saja menjadi pejabat sipil, tetapi setelah memilih jalur sipil sepenuhnya. Itulah cara paling sehat untuk menjaga profesionalisme institusi kepolisian, sekaligus menjaga kemandirian dan meritokrasi birokrasi sipil.
Implikasi terpenting dari putusan ini terletak pada penataan ulang apa yang dimaksud dengan jabatan yang memiliki sangkut paut dengan kepolisian. Berdasarkan konstruksi UU Polri, frasa sangkut paut merujuk langsung pada tugas pokok Polri dalam Pasal 13—memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberi perlindungan dan pelayanan— yang dirinci lebih jauh dalam Pasal 14 Ayat (1) sebagai daftar tugas yang limitatif.
Dengan demikian, hanya jabatan yang berada dalam ekosistem tugas inti tersebut, misalnya fungsi penyidikan atau penegakan hukum di KPK, BNN, atau BNPT, yang masih memungkinkan dijabat oleh anggota Polri, tanpa keharusan mundur.
Namun untuk seluruh jabatan di luar domain keamanan, garis demarkasi kini sudah dipertegas. Pos-pos strategis, seperti sekjen, irjen, atau dirjen di kementerian sipil tidak lagi dapat diisi oleh polisi aktif.
Putusan ini mengoreksi praktik panjang yang membuat jabatan birokrasi sipil menjadi arena yang cair bagi aparat polisi aktif, sekaligus mempersempit ruang kompetisi bagi warga negara yang seharusnya memiliki kesempatan yang setara.
Kini ruang itu kembali dibuka. Generasi muda yang ingin berkarier di pemerintahan tidak lagi harus bersaing dengan institusi yang membawa struktur komando di punggungnya. Seleksi kembali berdiri pada asas meritokrasi berbasis sipil, bukan penugasan.
Putusan MK ini pada akhirnya tidak sekadar menghapus satu frasa dalam penjelasan undang-undang, namun, lebih daripada itu adalah memulihkan arsitektur konstitusional yang selama ini terkikis perlahan— arsitektur yang menempatkan pemerintahan sipil sebagai penentu arah negara, dan institusi keamanan sebagai penjaga, bukan pengisi ruang kekuasaan. Bagaimana pendapat anda? (ant/jey)
*) Prof Dr Hufron adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya