Mampukah Zakat Memutus Rantai Kemiskinan?
Oleh : Qoriza Saumiddin Lubis
Penyuluh Agama Islam (KUA Kecamatan Dendang)
Kemiskinan adalah salah satu tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia, bahkan dunia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, tingkat kemiskinan di Indonesia berada di angka 9,36% dari total populasi. Sedangkan menurut Bank Dunia memperkirakan pada 2022, lebih dari 9% populasi dunia hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem, yang diukur sebagai pendapatan kurang dari US$2,15 per hari.
Banyak upaya untuk memutus rantai kemiskinan di Indonesia dan di Dunia. Salah sayu upaya yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan zakat. Meskipun pembangunan ekonomi terus diupayakan, masih banyak masyarakat yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural maupun kultural.
Mereka bukan hanya kekurangan secara materi, tetapi juga terbatas dalam akses pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan kesempatan berkembang. Dalam kondisi demikian, zakat hadir bukan hanya sebagai kewajiban agama, tetapi juga sebagai instrumen sosial-ekonomi yang strategis untuk mengurangi kesenjangan dan memberdayakan masyarakat miskin.
Zakat adalah rukun Islam ketiga, kewajiban bagi setiap muslim yang mampu. Dalam Alquran surah At-Taubah Ayat 103 “Ambillah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kami membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Secara spiritual, zakat membersihkan harta dan jiwa dari sifat tamak.
Baca Juga: Kemenag Segera Hadirkan Terjemahan Al Quran dalam Bahasa Betawi
Di balik itu, sebenarnya zakat memiliki dimensi sosial yang sangat besar. Ia berfungsi sebagai mekanisme distribusi kekayaan dari yang mampu kepada yang membutuhkan. Dengan kata lain, zakat adalah sistem jaminan sosial Islam yang bertujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika dikelola dengan benar, zakat mampu menjadi motor penggerak pembangunan sosial.
Potensi zakat di Indonesia sangat besar. Berdasarkan data BAZNAS, potensi zakat nasional mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun. Namun, realisasi penghimpunannya baru sekitar 10–15% dari angka tersebut. Hal ini menunjukkan masih terbuka peluang besar untuk menjadikan zakat sebagai instrumen nyata dalam mengentaskan kemiskinan.
Selama ini, distribusi zakat sering bersifat karitatif dan konsumtif: memberi sembako, uang tunai, atau bantuan sesaat. Meskipun meringankan, model ini tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan. Orang miskin tetap bergantung, dan kemiskinan menjadi masalah yang berulang. Pendekatan yang lebih tepat adalah pemberdayaan zakat secara produktif. Misalnya, dana zakat digunakan untuk modal usaha mikro, pelatihan keterampilan, pendampingan usaha, beasiswa pendidikan, atau program kesehatan. Dengan begitu, penerima zakat (mustahik) tidak sekadar menerima bantuan, melainkan diberdayakan untuk mandiri dan keluar dari kemiskinan. Bahkan, dalam jangka panjang mereka berpotensi berubah status menjadi pemberi zakat (muzakki).
Beberapa lembaga zakat telah memulai program pemberdayaan produktif. Misalnya, program “Zakat Community Development (ZCD)” dari BAZNAS yang membangun desa mandiri dengan pengembangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan dakwah.
Ada juga program bantuan modal usaha mikro bagi ibu rumah tangga, pelatihan pertanian organik untuk petani, atau pengembangan koperasi syariah berbasis zakat. Program-program ini membuktikan bahwa zakat bukan sekadar instrumen amal, tetapi bisa menjadi katalis pembangunan ekonomi. Dengan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berbasis pemberdayaan, zakat bisa menciptakan siklus perubahan sosial yang berkelanjutan.
Baca Juga: Harmoni Kerukunan Umat di Tanah Serumpun Sebalai
Pengentasan kemiskinan melalui zakat tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan kebijakan publik dan sinergi dengan program pemerintah. Misalnya, zakat bisa disinergikan dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah seperti BLT, PKH, atau bantuan usaha kecil. Dengan integrasi data dan koordinasi kebijakan, distribusi bantuan akan lebih tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Selain itu, literasi zakat juga harus ditingkatkan. Banyak masyarakat yang belum paham pentingnya menunaikan zakat melalui lembaga resmi. Masih banyak yang membayar zakat langsung secara pribadi, sehingga potensi pengelolaan secara sistemik tidak optimal. Jika kesadaran kolektif meningkat, penghimpunan zakat akan melonjak, dan program pemberdayaan bisa diperluas.
Pada akhirnya, zakat bukan hanya solusi teknis, melainkan juga ideologis. Ia mengajarkan bahwa harta bukan milik pribadi semata, melainkan titipan Allah yang di dalamnya ada hak orang lain. Dengan zakat, umat Islam dididik untuk peduli, berbagi, dan menegakkan keadilan sosial. Pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan zakat berarti menghidupkan semangat gotong royong yang Islami: yang kuat membantu yang lemah, yang kaya menolong yang miskin, yang berdaya mendukung yang tertinggal. Jika semangat ini dijalankan secara konsisten, zakat tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi benar-benar menjadi instrumen transformasi sosial yang menyejahterakan umat.
Zakat adalah amanah besar sekaligus peluang emas. Di tengah tantangan kemiskinan yang kompleks, zakat bisa menjadi solusi yang adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan nilai-nilai spiritual. Dengan pengelolaan yang profesional, transparan, dan berbasis pemberdayaan, zakat mampu mengubah mustahik menjadi muzakki, penerima menjadi pemberi, dan ketergantungan menjadi kemandirian. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan melalui zakat bukan hanya cita-cita, tetapi sebuah keniscayaan jika umat Islam bersama-sama mengoptimalkannya.