Keluarga Sakinah Penangkal Tsunami Perceraian
Oleh : Suyanto
Penyuluh Agama Islam (Kemenag Belitung )
Keluarga sakinah menjadi benteng kuat bagi siapa pun yang ingin menghindari “tsunami perceraian” yang sedang menggelombang di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik terbaru, sepanjang tahun 2024 terdapat 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Dari jumlah tersebut, perselisihan dan pertengkaran terus-menerus menduduki posisi teratas sebagai penyebab utama sebanyak 251.125 kasus. Di posisi kedua adalah faktor ekonomi dengan jumlah 100.198 kasus, yang menunjukkan betapa besar beban finansial menjadi pemicu keretakan rumah tangga.
Fenomena ini seakan menjadi alarm yang mengetuk kesadaran kita semua: membangun rumah tangga bukanlah soal cinta semata. Memang cinta adalah fondasi, tetapi jika fondasi itu tidak didukung oleh ketahanan ekonomi, maka ia bisa retak saat badai tekanan hidup datang.
Tidak sedikit pasangan yang ketika menikah hanya berbicara tentang cinta, romantisme, harapan, dan mimpi bersama, tanpa menghitung risiko ekonomi: biaya hidup yang kian meningkat, pekerjaan yang tak selalu stabil, pengeluaran tak terduga, utang yang menjerat, hingga tanggungan keluarga yang tidak sedikit. Ketika pendapatan tidak menentu, pengeluaran membengkak, atau harapan akan kesejahteraan tidak terpenuhi, konflik kecil bisa berubah menjadi luka besar yang sulit disembuhkan.
Baca Juga: Merdeka Secara Dompet
Dalam Islam, rumah tangga memang diharapkan dipenuhi cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), serta ketenangan (sakinah) yang dijanjikan Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21).
Namun, ayat ini juga memberi pesan tersirat: sakinah bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia harus dirawat, dijaga, dan dipelihara dengan kesungguhan, termasuk dalam aspek tanggung jawab ekonomi. Rasulullah SAW pun bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Kebaikan di sini tidak hanya berupa kelembutan ucapan, tetapi juga kesungguhan dalam memastikan kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Membiarkan pasangan hidup dalam kecemasan dan tekanan karena kekurangan finansial tentu bukanlah teladan kebaikan.
Baca Juga: Beda itu Biasa, Rukun Luar Biasa
Sebagai penyuluh agama, saya sering menegaskan bahwa keputusan menikah bukan hanya tentang kesiapan hati, tetapi juga kesiapan lahiriah, khususnya dalam aspek ekonomi. Kesiapan ekonomi tidak selalu berarti berlimpah harta, melainkan kemampuan untuk merencanakan, menabung, mengatur pengeluaran, saling berbagi beban, serta mengantisipasi kemungkinan cobaan ke depan. Pasangan yang jujur terhadap kondisi finansial masing-masing, yang saling mendukung dalam mencari nafkah maupun mengelola keuangan, jauh lebih berpeluang menjaga rumah tangganya tetap kokoh.
Data BPS tadi memperjelas bahwa masalah ekonomi bukanlah faktor kecil atau sekadar tambahan. Ia nyata, bahkan menempati posisi kedua terbesar dalam statistik perceraian. Semakin stabil ekonomi suatu rumah tangga, semakin besar kemungkinan cinta dan kasih sayang bisa tumbuh tanpa terganggu oleh tekanan luar. Sebaliknya, bila ekonomi goyah, maka percikan kecil bisa menjadi bara besar. Kebutuhan dasar yang tak terpenuhi bisa menimbulkan kekecewaan, harapan yang tidak sejalan bisa berubah menjadi penyesalan, dan stres yang menumpuk bisa mengikis cinta yang dulunya terasa begitu indah.
Tingginya angka perceraian seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Jika “tsunami perceraian” tidak segera dikendalikan, generasi mendatang akan kehilangan teladan keluarga yang utuh. Padahal, keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anak. Dari keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah akan lahir generasi yang kuat, beriman, berakhlak mulia, serta mampu menghadapi tantangan zaman dengan bijak.
Baca Juga: Kemenag Segera Hadirkan Terjemahan Al Quran dalam Bahasa Betawi
Maka dari itu, mari kita persiapkan cinta dengan matang. Jangan jadikan pernikahan sekadar perayaan sesaat yang dihiasi pesta megah, tetapi jadikan ia perjalanan panjang menuju ridha Allah. Pernikahan sejati bukan hanya dimulai dari ijab qabul, tetapi dari komitmen menjaga satu sama lain dalam suka dan duka. Diskusikanlah kemampuan finansial dengan terbuka sebelum menikah, susunlah rencana keuangan rumah tangga dengan bijak, bantulah pasangan ketika kesulitan datang, dan jauhilah budaya konsumtif yang bisa merusak keharmonisan.
Akhirnya, marilah kita renungkan pepatah Islami yang sarat makna: “Apabila cinta dibangun di atas taqwa, maka sakinah akan menjadi nyata.”Cinta yang hanya bertumpu pada nafsu akan rapuh, sementara cinta yang ditopang oleh iman dan tanggung jawab akan menjadi kekuatan sejati. Bila rumah tangga berlandaskan takwa, maka cobaan hidup akan terasa ringan, kekurangan bisa ditutupi dengan kesabaran, dan kebahagiaan akan terasa lebih indah karena lahir dari keikhlasan.
Dari keluarga sakinah yang bertumpu pada taqwa inilah akan lahir generasi terbaik, anak-anak yang berakhlak, pasangan yang saling menopang, dan peradaban yang lebih mulia. Maka, jangan biarkan cinta berhenti di kata-kata, tapi wujudkan ia dalam tanggung jawab nyata, agar keluarga kita menjadi benteng yang kokoh di tengah derasnya arus perceraian zaman ini.