Harmoni Kerukunan Umat di Tanah Serumpun Sebalai
Oleh : Aisyah Ratuning Prameswari
Penyuluh Agama Islam (KUA Kecamatan Membalong)
Indonesia adalah rumah besar bagi ratusan suku bangsa, bahasa, adat dan keyakinan. Keragaman ini adalah anugerah, tetapi sekaligus tantangan. Kita tentu bangga dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun dalam kenyataannya, perbedaan bisa memicu gesekan jika tidak dijaga.
Pada akhir 2018, masyarakat Bangka diguncang isu cukup hangat: rencana pembangunan patung Bunda Maria di salah satu kawasan di Pulau Bangka. Sebagian masyarakat menyambut dengan terbuka, sebagian lainnya menolak keras. Ada yang khawatir ikon budaya lokal tersisih, ada yang menilai lokasi pembangunan bermasalah karena termasuk hutan lindung, sementara yang lain menganggap hal ini sebagai bentuk ekspresi iman yang harus dihormati. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kerukunan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap otomatis ada, melainkan harus terus dirawat dan diperjuangkan.
Dari perspektif sosial-budaya, masyarakat Melayu Bangka sejak lama hidup berdampingan dengan keragaman. Sejarah mencatat, etnis Melayu dan Tionghoa pernah bersatu melawan kolonial Belanda dalam perang Bangka. Bahkan, di masa-masa sulit, Pulau Bangka menjadi tempat berlindung bagi etnis Tionghoa ketika kerusuhan anti-Tionghoa merebak di berbagai kota Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kerukunan di Bangka bukanlah hal baru, melainkan warisan budaya yang kuat.
Baca Juga: Keluarga Sakinah Penangkal Tsunami Perceraian
Teori akulturasi yang dikemukakan Akhmad Elvian (2016), menegaskan bahwa ada tiga kemungkinan ketika budaya lokal bersentuhan dengan budaya luar: melawan, menyingkir, atau menerima dengan syarat. Masyarakat Melayu Bangka memilih jalan ketiga: menerima dengan syarat tidak merusak jati diri. Prinsip inilah yang kemudian melahirkan kearifan lokal sepintu sedulang hidup bersama dalam perbedaan dengan saling menghargai. Kerukunan itu tampak nyata: warga non-Muslim ikut berlebaran, sementara Muslim ikut berkunjung saat perayaan Imlek atau Cap Go Meh.
Namun, rencana pembangunan patung Bunda Maria menguji kearifan tersebut. Sebagian masyarakat menolak karena khawatir patung besar akan mengubah ikon Pulau Bangka yang mayoritas Melayu Islam. Ada pula yang menilai pembangunan di kawasan hutan lindung melanggar aturan. Sebaliknya, pihak yang mendukung menegaskan bahwa pembangunan tersebut adalah wujud toleransi beragama dan hak konstitusional umat Katolik.
Data penelitian yang dilakukan oleh Aisyah Ratuning Prameswari pada tahun 2020, juga memperlihatkan adanya demonstrasi yang dipimpin oleh organisasi masyarakat, namun di sisi lain, ada pula kelompok masyarakat Islam yang justru membela pembangunan itu. Fakta ini memperlihatkan bahwa masyarakat Bangka tidak sepenuhnya menolak atau menerima, melainkan terbelah.
Sebagai penyuluh agama Islam, Penulis melihat bahwa polemik ini mengajarkan kita arti toleransi yang lebih dalam. Toleransi bukan berarti menyamakan semua keyakinan, tetapi menghormati hak setiap orang untuk beribadah sesuai agamanya. Al-Qur’an menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam beragama” (QS. Al-Baqarah: 256). Maka, menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri.
Polemik ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah dalam meredam ketegangan. Tanpa mereka, konflik kecil bisa membesar. Tokoh masyarakat di Bangka, baik dari kalangan Melayu Muslim maupun Tionghoa, berperan besar dalam menenangkan suasana saat demonstrasi terjadi. Pemerintah daerah akhirnya menghentikan rencana pembangunan tersebut sambil mendorong musyawarah. Ini bukti bahwa dialog adalah jalan keluar terbaik.
Baca Juga: Kemenag Pati Gelar Pelepasan Petugas dan Jamaah Haji, Kepala Kemenag Berpesan untuk Jaga Kesehatan
Ada beberapa solusi praktis yang bisa dilakukan untuk menjaga kerukunan. Pertama, memperkuat dialog lintas agama. Dialog ini harus rutin dan jujur, bukan sekadar formalitas, agar tumbuh rasa saling percaya. Kedua, menghidupkan kearifan lokal sepintu sedulang. Nilai lokal seringkali lebih efektif daripada aturan formal, karena lahir dari hati masyarakat. Ketiga, pendidikan toleransi sejak dini. Anak-anak perlu dikenalkan pada nilai hidup rukun melalui sekolah, keluarga, maupun kegiatan sosial.
Selain itu, pemerintah harus berhati-hati dalam mengeluarkan izin pembangunan rumah ibadah atau monumen yang terkait simbol agama. Transparansi sangat penting agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Media juga berperan besar. Alih-alih menyebarkan isu provokatif, media semestinya menampilkan berita yang seimbang dan mendorong kedamaian.
Kerukunan umat beragama di Indonesia ibarat kain tenun: setiap benang berbeda warna, namun ketika dirajut bersama, tercipta harmoni yang indah. Peristiwa pro-kontra pembangunan patung Bunda Maria di Bangka menjadi pelajaran bahwa kerukunan tidak boleh dibiarkan begitu saja, melainkan harus terus dipelihara.
Seperti kata Gus Dur, “Tidak penting apa agamamu dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Maka, mari kita jadikan perbedaan sebagai kekuatan. Dengan menjaga nilai kerukunan, damai di bumi serumpun bisa terus lestari, menjadi teladan bukan hanya bagi Bangka, tapi juga bagi Indonesia bahkan dunia.