Beda itu Biasa, Rukun Luar Biasa
Oleh : Muda Parlaungan Lubis, S.Sos.I.
Penyuluh Agama KUA Sibolga Sambas
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman suku, budaya, dan agama yang sangat tinggi. Namun, keragaman ini juga menyimpan potensi konflik apabila tidak dikelola dengan bijak. Kota Sibolga, sebagai wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Utara, merupakan potret miniatur Indonesia dengan keberagaman agama yang mencolok seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha, dan kepercayaan lokal hidup berdampingan dalam radius geografis yang sempit.
Meski selama ini kerukunan cenderung terjaga, beberapa insiden intoleransi, terutama di media sosial, mulai menampakkan urgensi pendekatan yang lebih sistematis dan berkelanjutan. Dalam konteks global, moderasi beragama menjadi isu strategis yang digaungkan UNESCO dan lembaga-lembaga internasional sebagai pendekatan untuk membendung ekstremisme dan membangun perdamaian sosial (UNESCO, 2023). Kementerian Agama Republik Indonesia juga menegaskan pentingnya moderasi beragama sebagai kerangka strategis pembangunan nasional yang inklusif (Kemenag RI, 2023).
Baca Juga: Honestas di Kantin Madrasah oleh Khairul Fahmi S, SH. I, M.Ag.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis relevansi moderasi beragama dalam membangun kerukunan umat beragama di tengah keberagaman Kota Sibolga. Penelitian ini secara khusus mengeksplorasi bentuk-bentuk implementasi moderasi beragama di tingkat lokal, meninjau peran lembaga seperti FKUB dan sekolah, serta mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam mendorong narasi keberagamaan yang inklusif.
Toleransi dalam moderasi beragama tidak hanya dipahami sebagai sikap pasif menerima perbedaan, tetapi juga sebagai upaya aktif dalam membangun dialog, menghormati keyakinan orang lain, serta menciptakan ruang hidup bersama secara setara. Moderasi beragama menolak bentuk dakwah atau ekspresi keagamaan yang mengarah pada provokasi, ujaran kebencian, apalagi kekerasan fisik. Hal ini selaras dengan ajaran agama-agama yang pada dasarnya mengedepankan kasih sayang dan kemanusiaan. Selanjutnya, prinsip akomodatif terhadap budaya lokal menunjukkan bahwa agama tidak hadir di ruang hampa, melainkan berinteraksi dengan konteks sosial-budaya masyarakat.
Dalam perspektif ini, moderasi beragama menghargai kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Misalnya, tradisi “marsialap ari” (saling kunjung antar keluarga beda agama) di Sibolga menjadi contoh harmonisasi antara nilai budaya dan spiritualitas. Di masyarakat multikultural seperti Kota Sibolga, ketegangan keagamaan dapat timbul ketika identitas agama dipolitisasi atau digunakan sebagai alat untuk membangun kekuasaan simbolik. Edward Azar dalam teori protracted social conflict (PSC) juga menekankan bahwa konflik yang berkepanjangan biasanya bersumber pada ketidakadilan struktural, pengabaian identitas kolektif, dan keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi serta sosial.
Baca Juga: Donald Trump Menang dalam Pilpres AS 2024
Di Kota Sibolga, FKUB berfungsi sebagai fasilitator antara pemerintah daerah, tokoh agama, dan masyarakat lintas agama. Lembaga ini secara aktif menyelenggarakan forum dialog lintas iman, kampanye anti-hoaks berbasis agama, serta seminar tentang moderasi beragama di sekolah dan rumah ibadah. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks Sibolga sebagai kota pesisir yang multikultural, di mana keragaman identitas sangat kental dan berpotensi menimbulkan gesekan apabila tidak dikelola dengan bijak.
FKUB sebagai aktor strategis perlu terus diperkuat dalam aspek kapasitas kelembagaan, pendanaan, serta dukungan kebijakan, agar mampu menghadapi tantangan baru seperti penyebaran ujaran kebencian digital, politisasi identitas, dan ekstremisme berbasis agama yang semakin kompleks di era modern.
Menurut Azyumardi Azra, pendidikan agama yang bersifat eksklusif berpotensi memunculkan sikap intoleran dan fanatisme. Sebaliknya, pendidikan agama yang inklusif dan berbasis nilai-nilai universal—seperti keadilan, kasih sayang, dan perdamaian—dapat melahirkan generasi yang moderat, terbuka, dan toleran terhadap perbedaan. Ini sangat penting di kota-kota multikultural seperti Sibolga, di mana interaksi lintas agama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Literasi keagamaan dan pendidikan toleransi merupakan fondasi utama dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Ketika warga memiliki pemahaman agama yang baik dan terbuka, potensi konflik berbasis agama dapat diminimalisir, bahkan dicegah sejak awal melalui pendekatan edukatif dan partisipatif.
Dari hasil pembahasan, terlihat bahwa upaya implementasi moderasi beragama di Sibolga telah berjalan melalui peran aktif aktor-aktor strategis seperti FKUB, tokoh agama, dan institusi pendidikan. FKUB secara khusus telah menunjukkan efektivitasnya dalam memfasilitasi dialog lintas agama dan menyelesaikan gesekan sosial secara damai. Namun, tantangan seperti eksklusivisme agama, hoaks keagamaan, dan minimnya literasi keagamaan masih menjadi hambatan yang harus diatasi dengan strategi konkret dan kolaboratif.