Panduan.co.id – Dalam dunia investasi, istilah cash is king alias uang tunai sangatlah penting, menjadi salah satu acuan. Ungkapan ini juga menjadi gambaran tentang pentingnya memiliki likuiditas dalam bentuk uang tunai, terutama dalam keadaan darurat atau ketidakpastian ekonomi.
Namun, kenyamanan semu itu justru bisa menjadi jebakan. Dalam sistem moneter modern, uang tunai tak lebih dari aset yang perlahan-lahan menyusut nilainya.
Inflasi yang terus terjadi, meski dalam angka yang terlihat kecil, secara konsisten menggerus daya beli. Inilah hukum ekonomi yang sering diabaikan karena terasa lambat dan tak kasat mata.
Tetapi bila mau menarik garis waktu dan menelusuri data historis, hasilnya bisa mencengangkan dan memberikan pelajaran yang jauh lebih bernilai daripada sekadar menimbun rupiah dalam bentuk tunai.
Mari kembali ke tahun 2000, satu titik waktu yang cukup stabil setelah krisis finansial Asia 1997.
Seseorang dengan uang Rp1 miliar di tangan menghadapi tiga pilihan yakni menyimpan dalam bentuk tunai, membeli emas, atau menginvestasikannya dalam saham perusahaan unggulan.
Baca Juga: Inilah Regulasi Truk ODOL dan Hukumannya
Tiga jalur ini mewakili tiga strategi yang tampak sederhana tapi berbuah sangat berbeda.
Jika uang Rp1 miliar pada tahun 2000 digunakan untuk membeli properti di pinggiran Jakarta di antaranya di Tangerang, Bekasi, atau Depok pilihan itu akan terlihat cerdas secara kasat mata.
Harga rumah yang dulu hanya berkisar Rp50juta–Rp80 juta kini melonjak menjadi miliaran rupiah. Tapi apakah ini pilihan terbaik? Tidak juga.
Keuntungan emas
Jika uang itu dialihkan ke emas, hasilnya bahkan lebih besar. Dengan kurs rupiah terhadap dolar pada tahun 2000 yang berada di kisaran Rp8.000 per dolar, Rp1 miliar bisa dikonversi menjadi sekitar 125.000 dolar AS.
Saat itu, harga emas masih sekitar 300 dolar per ons, sehingga seseorang bisa mengantongi sekitar 416 ons emas.
Dua puluh lima tahun kemudian, saat harga emas melonjak ke kisaran 3.000 dolar per ons, nilai emas itu melesat menjadi sekitar Rp20,6 miliar (dengan kurs Rp16.500/dolar AS). Pengembaliannya berlipat-lipat dari nilai awal, dan tentu saja jauh mengalahkan inflasi.
Untuk saat ini, potensi keuntungan emas bahkan semakin berlipat. Analis mata uang dan emas Lukman Leong menilai harga emas diprediksi masih berpeluang melanjutkan reli dan bahkan menembus level 3.500 dolar AS per troy ons.
Hal ini dipengaruhi faktor meningkatnya kekhawatiran global dan melemahnya dominasi dolar AS sebagai aset lindung nilai utama.
“Sangat berpotensi 3.500 dolar AS (per troy ons) sangat ideal, 3.800 dolar hingga 4.000 dolar pun tidak mengherankan. Iya, fase ini mulai di tahun 2024 ketika emas naik sekitar 27 persen. Sedangkan untuk 2025 sendiri hingga sekarang April telah naik kira-kira 20 persen,” kata Lukman.
Tapi kisah yang paling mencolok datang dari pasar saham. Katakanlah seseorang menanamkan seluruh Rp1 miliar itu ke saham BCA di tahun 2000.
Dalam 25 tahun, nilai saham ini telah meningkat lebih dari 234 kali lipat. Tak hanya itu, BCA secara konsisten membagikan dividen tahunan antara 3,5 persen hingga 4 persen, serta melakukan stock split dan penerbitan saham bonus.
Jika seluruh dividen direinvestasikan, akumulasi kekayaan ini bisa menyentuh lebih dari 200 kali lipat dari nilai awal.
Baca Juga: Inilah Penyebab Ibu Hamil Rentan Terkena Influenza
Dengan hasil seperti itu, seseorang tidak hanya bisa membeli rumah mewah di kawasan elit Jakarta, tetapi juga memiliki aset yang terus menghasilkan aliran kas pasif dan berpotensi diwariskan lintas generasi.
Bandingkan dengan mereka yang menyimpan uang tunai. Inflasi tahunan rata-rata di Indonesia selama 25 tahun terakhir berada pada kisaran 7 persen.
Artinya, Rp100 juta di tahun 2000 hanya memiliki daya beli setara dengan kurang dari Rp20 juta pada nilai riil saat ini.
Meski nominalnya tumbuh dalam bentuk bunga tabungan, daya belinya menyusut drastis. Jika dulu bisa membeli rumah sederhana, sekarang bahkan tak cukup untuk uang muka apartemen kecil.
Ini bukan sekadar perbedaan angka, tapi perbedaan filosofi keuangan. Tunai adalah alat transaksi, bukan alat pertumbuhan.
Apresiasi nilai
Pertanyaannya, mengapa saham bisa begitu unggul? Jawabannya terletak pada dua kekuatan utama, apresiasi nilai dan dividen majemuk.
Saham dari perusahaan berkualitas adalah mesin penghasil kekayaan yang tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tapi juga memberikan imbal hasil rutin.
Apalagi jika seseorang memiliki disiplin untuk tidak menjual dan terus mengakumulasi aset tersebut.
Namun bukan berarti emas tak punya tempat. Dalam konteks ketidakpastian global seperti saat ini, dengan ketegangan geopolitik, kebijakan suku bunga yang ambigu, dan risiko sistemik dari utang negara, emas kembali menonjol sebagai aset pelindung nilai.
Emas tidak memiliki risiko counterparty, tidak bergantung pada performa pihak ketiga, dan dapat diuangkan hampir di mana saja. Kenaikan tajam harga emas belakangan ini adalah cermin dari keresahan global, bukan sekadar tren spekulatif.
Meski demikian, untuk jangka panjang, emas tetap tak bisa menyaingi saham dalam menghasilkan kekayaan.
Emas memang melindungi, tetapi tidak menggandakan. Ia bertahan, tetapi tidak berkembang.
Sebuah penelitian dari Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda yang dilakukan oleh Nanik Nursania dan timnya membandingkan tingkat keuntungan investasi saham dan emas pada PT Aneka Tambang Tbk selama periode 2015 hingga 2019.
Studi ini menunjukkan bahwa rata-rata return saham ANTM lebih tinggi dibandingkan emas. Dengan pendekatan kuantitatif dan analisis selisih harga (capital gain/loss), hasilnya memperlihatkan bahwa meskipun saham cenderung fluktuatif, potensi keuntungannya jauh lebih besar. Uji statistik juga menunjukkan bahwa perbedaan ini signifikan secara ilmiah.
Kesimpulan dari riset ini menegaskan bahwa dalam periode lima tahun tersebut, saham memberikan imbal hasil lebih baik dibanding emas sebagai instrumen investasi.
Hal ini memperkuat pandangan bahwa investasi saham, meskipun memiliki risiko pasar yang lebih besar, lebih unggul untuk membangun kekayaan dalam jangka menengah hingga panjang.
Temuan ini dapat menjadi pijakan kuat bagi investor yang mempertimbangkan antara menyimpan dana dalam bentuk logam mulia atau menumbuhkannya lewat pasar modal.
Baca Juga: Inilah Syarat Pasien Penyakit Ginjal Berpuasa Ramadhan
Karena itu, strategi yang cerdas bukan memilih satu dan menolak yang lain, melainkan mengalokasikan secara bijak. Memiliki sebagian portofolio di emas memberikan perlindungan terhadap gejolak.
Namun menempatkan inti portofolio pada saham unggulan adalah langkah untuk menumbuhkan kekayaan secara nyata.
Saat ini di tahun 2025, sejarah telah memberi peta jalan. Jika hari ini pasar menurun, justru itulah saat terbaik untuk menanam. Bukan saatnya membiarkan dana menganggur dalam bentuk tunai yang perlahan membusuk nilainya.
Justru saat inilah saatnya membiarkan uang berakar di titik terendah, agar kelak berbunga dan berbuah. Seperti yang terjadi dengan BCA, mungkin sekarang giliran saham BRI dengan valuasi rendah dan dividen menarik yang menjadi keajaiban berikutnya.
Dalam dunia yang serba tak pasti, yang stabil justru adalah logika fundamental. Emas adalah benteng, saham adalah ladang. Sedangkan uang tunai adalah air mengalir yang perlahan-lahan menguap.
Kini memang bukan lagi soal seberapa tinggi emas akan naik, melainkan seberapa bijak seseorang dalam membaca arah waktu.
Karena pada akhirnya, waktu bukan sekadar teman investor, ia adalah pengganda kekayaan bagi mereka yang sabar, cermat, dan tak terjebak pada ilusi rasa aman. (ant/jey)